Suka dan Duka di Balik Layar RLF ke-29: Ketika Para LO Menjaga KAPPIJA 21 Tetap Bernyawa
Surabaya–Bromo — Setiap perhelatan besar selalu memiliki dua wajah. Yang pertama tampak di panggung utama: forum resmi, pidato, diskusi strategis, dan foto bersama. Yang kedua bekerja dalam senyap—mengatur kedatangan, menjaga ritme acara, meredam kegelisahan delegasi, dan memastikan semua tetap berjalan meski rencana berubah. Di Regional Leaders Forum (RLF) ke-29 KAPPIJA 21, wajah kedua itu adalah para Liaison Officer (LO).
Momentum RLF ke-29 menjadi istimewa karena berlangsung beriringan dengan National Leaders Forum (NLF), Rapimnas, dan Munas KAPPIJA 21, sekaligus menandai 40 tahun perjalanan organisasi. Di balik rangkaian agenda besar itu, para LO menjadi nadi yang menjaga seluruh proses tetap bernyawa.
Awal Perjalanan: Tiba di Surabaya dan Briefing Penentu Arah
Rombongan LO dari Jakarta tiba di Hotel Morazen Surabaya, pusat kegiatan RLF ke-29. Tanpa jeda panjang, Ati Ganda, penanggung jawab LO sekaligus Dewan Pengawas KAPPIJA 21, langsung mengumpulkan seluruh LO untuk briefing awal.

Briefing ini menjadi fondasi kerja selama beberapa hari ke depan. Kak Ati menekankan pentingnya penjemputan delegasi sesuai jadwal kedatangan, pendataan ulang LO, pengisian daftar hadir, pembagian goodie bag, hingga pengelolaan kunci kamar. Namun lebih dari aspek teknis, ia menegaskan nilai sikap yang harus dijaga.
“LO itu bukan sekadar pendamping. Kalian adalah wajah KAPPIJA 21. Delegasi boleh lelah, tapi tidak boleh merasa diabaikan. Jaga komunikasi, peka terhadap situasi, dan saling membantu—karena di lapangan, rencana bisa berubah kapan saja,”
— Ati Ganda, Penanggung Jawab LO & Dewan Pengawas KAPPIJA 21
Briefing ini menjadi pegangan saat para LO mulai menghadapi realitas lapangan yang dinamis.
Fase Kritis: Penjemputan dan Adaptasi Awal Delegasi
Di fase awal kedatangan delegasi, tantangan langsung muncul. Beberapa tamu internasional tiba lebih dulu, sementara sebagian LO masih dalam perjalanan menuju Surabaya. Dalam situasi ini, Nurma, koordinator LO, mengambil inisiatif penuh.
Ia turun langsung menjemput dan mendampingi para delegasi, memastikan mereka tetap merasa diperhatikan meski sistem masih beradaptasi. Langkah ini menjadi penyangga penting agar kesan pertama terhadap KAPPIJA 21 tetap hangat dan profesional.
Musthafa Habibie Idrus: Kisah yang Dimulai Tengah Malam

Salah satu kisah paling membekas datang dari Musthafa Habibie Idrus, LO delegasi Thailand. Perjalanannya dimulai di bandara Surabaya, tepat di tengah malam. Ia membayangkan delegasi yang datang dengan tubuh lelah dan ingin segera beristirahat. Namun kenyataan justru berbeda.
Delegasi Thailand keluar dari imigrasi dengan senyum lebar dan energi positif. Permintaan pertama mereka pun sederhana dan membumi: ingin makan bakso dan jajan di minimarket.
“Malam itu saya sadar, tugas LO bukan cuma soal jadwal. Ada ruang kemanusiaan yang harus dihadirkan,” kenang Musthafa. Sepiring bakso di tengah malam menjadi pembuka hubungan yang hangat.
Hari-hari berikutnya—dari forum resmi di Surabaya hingga dinginnya Bromo—hubungan mereka tumbuh melampaui formalitas. Percakapan personal, candaan, hingga diskusi budaya mengalir alami.

Puncaknya terjadi di Gunung Bromo. Saat Musthafa menawarkan diri untuk mengambil foto, delegasi Thailand justru menolak.
“No, you have to join us!”
Mereka ingin Musthafa masuk ke dalam bingkai foto. Bagi Musthafa, itu adalah momen pengakuan—bahwa ia bukan sekadar pendamping, tetapi bagian dari kebersamaan itu sendiri.

“Saya datang tanpa ekspektasi, tapi pulang dengan hati yang penuh—penuh cerita, pelajaran, dan rasa syukur,” ujarnya.
Irwansyah: Menjaga Kepercayaan di Tengah Tekanan
Sebagai LO delegasi Malaysia, Irwansyah menghadapi tantangan yang berbeda. Tekanan muncul dari padatnya agenda dan perubahan alur kegiatan yang menuntut komunikasi cepat dan presisi.

Ia harus memastikan delegasi tetap merasa nyaman meski informasi kerap diperbarui. Kelelahan hadir, namun terbayar oleh kepercayaan yang tumbuh.

“Ketika delegasi merasa didengar dan dipahami, semua rasa lelah itu seperti terbayar lunas,” ungkapnya. Pengalaman ini mengajarkannya tentang tanggung jawab dan ketenangan dalam menghadapi tekanan.
Trinanditha Yasmin: Belajar Tegas di Tengah Empati

Bagi Trinanditha Yasmin, LO delegasi Myanmar, tantangan terbesar datang dari proses adaptasi. Perbedaan bahasa dan pelafalan sering memicu miskomunikasi, sementara perubahan agenda membuat posisi LO serba sulit.
Ada momen ketika delegasi meminta keputusan di luar kewenangan LO dan menganggap pendampingan kurang maksimal. Komplain pun tak terhindarkan.
“LO harus selalu siap, dengan waktu istirahat yang minim. Kami bukan hanya mendampingi, tapi juga membantu banyak pekerjaan teknis. Tidak jarang disalahkan atas hal yang bukan kesalahan pribadi,” tuturnya.
Meski melelahkan, pengalaman ini justru menjadi titik penting dalam pengembangan dirinya—terutama karena ini adalah pengalaman pertamanya mendampingi delegasi internasional secara langsung.
Priska: Belajar Percaya Diri di Tengah Perbedaan

Bagi Priska, LO Malaysia yang baru pertama kali terlibat di RLF, tantangan justru datang dari dalam dirinya sendiri. Perbedaan usia, budaya, dan pengalaman dengan delegasi yang jauh lebih senior sempat membuatnya canggung.
Namun suasana berubah ketika delegasi Malaysia menunjukkan pengertian. Mereka memahami keterbatasan Priska dan Irwansyah sebagai LO baru, bahkan justru sering mencari mereka saat membutuhkan bantuan.

Momen paling menegangkan terjadi saat kunjungan ke Bromo, ketika beberapa delegasi jatuh sakit. Berkat kerja sama tim LO dan FKGEA, situasi bisa ditangani dengan baik dan delegasi kembali ke hotel dengan aman.
“Capek, iya. Tapi ini pengalaman emas yang akan selalu saya ingat dan banggakan,” kata Priska. Ia pulang dengan rasa percaya diri baru dan jejaring lintas negara yang tak ternilai.
Menutup Perjalanan: Ketika Lelah Menjadi Makna
Didukung oleh BPIP dan JICA, RLF ke-29 berjalan sebagai forum strategis kepemimpinan dan diplomasi masyarakat. Namun di balik keberhasilan itu, ada kerja panjang para LO—mereka yang datang paling awal, pulang paling akhir, dan tetap tersenyum meski suara habis dan tubuh lelah.
RLF ke-29 menegaskan satu hal penting: KAPPIJA 21 tidak hanya hidup lewat forum besar, tetapi melalui dedikasi orang-orang yang bekerja sepenuh hati di balik layar. Dari suka hingga duka, para LO telah menjaga denyut itu tetap menyala.
Dan selama semangat itu dijaga, KAPPIJA 21 tidak sekadar merayakan sejarah—tetapi terus menulis masa depan.