Alumni Nakasone

Sepotong Kain dan Kejutan Kecil di Surabaya

Oleh Kismawati Mulyaningsih, S.Si., M.Sc.

Alumni K21 2006, bidang Kesehatan

Terus terang saja, awalnya saya malas berangkat.

Pesan undangan National Leadership Forum (NLF) di Surabaya awal Desember itu datang melalui WhatsApp dari Ketua Pengda NTB, Bang Dr. dr. E. Hagni Wardoyo, Sp.MK(K)., Sp.KL(K). Saya membacanya sekilas, lalu langsung menjawab pendek, nyaris tanpa pikir panjang: maaf, saya tidak bisa hadir.

Alasannya jelas dan masuk akal—ada rapat akhir tahun di kampus yang rasanya tidak mungkin ditinggalkan. Saya pikir, urusan selesai di sana.

Ternyata tidak.

Ketika saya ceritakan pada suami, jawabannya ringan saja. Tidak ada debat. Tidak ada daftar alasan tandingan. Ia hanya berkata,

“Berangkat saja, Ma.”

Kalimatnya pendek. Nada suaranya biasa. Tapi entah kenapa, terdengar mantap. Padahal isi kepala saya justru penuh keluhan: hujan lagi rajin turun, pekerjaan di kantor menumpuk, badan rasanya capek. Anehnya, setelah kalimat itu, semua urusan seperti diberi jalan. Izin ke pimpinan kampus berjalan lancar, tanpa pertanyaan panjang. Pesannya hanya satu: selesaikan dulu tanggung jawab yang ada.

Berangkat Tanpa Persiapan

Sampai malam sebelum berangkat, saya tidak juga merasa antusias. Tidak ada rasa senang seperti biasanya kalau mau bepergian. Saya tetap sibuk dengan rutinitas, bahkan baru sempat packing larut malam. Semua terasa datar.

Di dalam hati, saya bertanya-tanya sendiri: Ngapain ya saya ikut? Mau ketemu siapa? Acaranya seperti apa? Yang saya kenal mungkin hanya Kak Asrina, teman dua puluh tahun lalu yang jarang sekali kontak. Selebihnya, semua terasa samar—hotel Morazen, orang-orang baru, suasana yang belum tergambar.

Tapi anehnya, kaki ini tetap melangkah. Seperti ada yang mendorong pelan-pelan.

Misteri Kain yang Hilang

Belakangan saya sadar, rupanya ada “urusan kecil” yang harus saya selesaikan di Surabaya.

Sekitar tahun 2023, saya mengikuti kegiatan HISFARSI—acara tahunan yang selalu bikin kangen: bertemu teman farmasi rumah sakit se-Indonesia, reuni kecil-kecilan, menambah ilmu, bahkan ikut Olimpiade Farmasi Klinik. Padahal usia sudah senior, pantasnya jadi juri, kata teman-teman dari Farmasi UGM. Tapi saya ikut saja, demi menyemangati junior-junior NTB agar terus belajar.

Di sela acara itu, kami berkunjung ke UMKM. Saya membeli kain jumputan Palembang, sarimbit. Sepasang. Lengkap. Rencananya akan dipakai untuk momen penting keluarga.

Waktu berjalan. Saat kain itu hendak dipakai, pasangannya hilang. Yang tersisa hanya satu—kain bapaknya saja. Lemari sudah dibongkar. Toko-toko didatangi. Mencari yang senada pun tidak ketemu. Seolah kain itu sengaja bersembunyi.

Dan lucunya, lewat rencana ke Surabaya inilah saya dipertemukan dengan Kak Uzirman—orang yang bahkan belum pernah saya temui sebelumnya. Kami tidak saling mengenal. Kontak pun nyaris tidak ada. Tapi beliau bersedia dititipi. Bahkan istrinya, dengan kebaikan hati yang tulus, mau direpotkan: pergi ke toko asal di Palembang dan membelikan pasangan kain tersebut.

Saat kabar itu sampai, saya terdiam cukup lama. Rasanya merinding. Bukan cuma karena kainnya ketemu, tapi karena saya merasa perjalanan ini bukan kebetulan. Seperti ada sesuatu yang sedang dijahit kembali. Belakangan saya tahu, Bang Uzirman pun baru pertama kali ikut kegiatan Kappija dan berangkat karena Ketua Pengda Sulsel berhalangan.

Allah memang sering bekerja dengan cara yang sederhana, tapi tepat.

.

bersama Uzirman di Morazen Surabaya

Begitu dikabari kainnya ketemu, saya terdiam. Rasanya merinding. Bukan cuma soal kain, tapi saya jadi sadar bahwa perjalanan ini bukan kebetulan. Tuhan seperti sedang menjahit kembali sesuatu yang sempat terputus.

Drama di Udara

Perjalanan ke Surabaya pun tidak sepenuhnya mulus. Saat pesawat hampir mendarat di Juanda, terdengar pengumuman: hujan deras, jarak pandang terbatas. Pesawat berputar-putar, lalu dialihkan mendarat di Bali.

Kami duduk diam di dalam kabin. Pasrah. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Tapi justru di situ rasa kebersamaan muncul. Di grup peserta, saya tahu rombongan Kak Wiwi dari Banten mengalami hal yang sama. Hati terasa lebih tenang. Oh, ternyata tidak sendiri.

Setelah mengisi bahan bakar, pesawat kembali terbang dan akhirnya mendarat dengan selamat di Surabaya.

Rengginang di Tengah Orang Hebat

Di bandara, sempat ada kebingungan soal penjemputan. Janjinya di terminal internasional, tapi alhamdulillah kendaraan panitia berputar dan menjemput di domestik. Di perjalanan, saya satu mobil dengan rombongan Malaysia. Obrolan ringan mengalir, meski masih terasa kagok. Ingatan saya melayang ke pengalaman 20 tahun lalu, pertukaran pemuda Indonesia–Jepang bidang kesehatan—tentang efisiensi, tentang alat-alat sederhana yang membuat hidup lebih tertata.

Sampai di hotel Morazen, saya diberi kamar—berbagi dengan delegasi Jepang, Michiko. Jujur, saya sempat gugup. Bahasa Inggris lama tidak dipakai, kamus Jepang tidak dibawa. Rasanya seperti datang tanpa persiapan. Tapi justru di situ serunya. Kami belajar sama-sama, pakai HP, tertawa saat salah paham. Michiko bahkan sempat bilang, bahasa Inggris saya buruk. Saya tertawa saja. Tidak apa-apa.

bersama Michiko

Gak ada lagi kendala bahasa, semuanya cair, every happy

Di sesi awal, ada kakak yang menyapa ramah. Saya bertanya, “Maaf, dengan kak siapa?”

“Kak TJ,” jawabnya.
Spontan saya nyeletuk, “Wah, saya kira Kak TJ itu tinggi besar.”

Beliau hanya tersenyum. Ramah. Belakangan saya tahu, beliau Ketua Pusat Kappija.

bersama teman2 kappija21

Malam harinya, koordinasi Pengda berlangsung hangat. Di sanalah saya mulai mengenal Bang Joned, Kak TJ, Kak Manis, Kak Uzirman, Kak Dodi, Kak Yan, Bang Andito, para senior. Diskusi mengalir—tentang Kappija, tentang masa depan. Saya duduk di tengah mereka, merasa seperti remah rengginang di antara orang-orang hebat. Kecil, tapi tetap punya rasa.

kappija21, rumah kita bersamaPulang dengan Utuh

Kegiatan ini adalah bagian dari peringatan 40 tahun Kappija 21—forum besar dengan pembahasan kepemimpinan, persahabatan lintas negara, teknologi, hingga masa depan global. Ada kunjungan budaya, lagu tentang Bromo dan Kappija, juga pelajaran tentang bagaimana Probolinggo mengemas kearifan lokal menjadi kekuatan ekonomi. Saya bahkan sempat membayangkan, tahun depan kenapa tidak Lombok?

Tapi bagi saya, yang paling membekas justru hal-hal kecilnya: sapaan tulus, perbedaan yang dihargai, dan rasa persaudaraan yang tidak dibuat-buat.

Saya pulang membawa koper. Tapi hati saya pulang dalam keadaan lebih penuh.

Dan kain itu? Kini sudah lengkap kembali.

Seperti perjalanan ini—berangkat dengan ragu, dijalani dengan kejutan kecil, dan diakhiri dengan rasa utuh. Saya belajar satu hal sederhana: selama niat kita baik untuk sesama dan negeri, Allah selalu punya cara memberi kejutan dari arah yang tidak disangka-sangka.

Aamiin.

https://kappija21.org

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

Alumni Nakasone